Skip to content

Kenapa Banyak Kasus Pelecehan Seksual Tidak Dilaporkan di Australia

Di permukaan, Australia terlihat sebagai negara dengan sistem hukum yang kuat dan masyarakat yang vokal soal keadilan. Tapi faktanya, ribuan kasus pelecehan seksual terjadi setiap tahun—dan sebagian besar tidak pernah dilaporkan.

Berdasarkan data Australian Bureau of Statistics (ABS) pada 2021, hanya sekitar 13% korban pelecehan seksual yang melapor ke pihak berwenang. Sisanya memilih diam. Pertanyaannya: kenapa?

Artikel ini mencoba mengurai alasan-alasan kenapa korban memilih bungkam, serta apa yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat untuk mengubahnya.

1. Rasa Takut dan Rasa Malu yang Mendalam

Banyak korban merasa bersalah atau malu setelah mengalami pelecehan. Meskipun mereka adalah korban, tekanan sosial sering membuat mereka berpikir sebaliknya.

Beberapa ketakutan umum korban adalah:

  • Takut disalahkan atau dianggap “mengundang”
  • Takut akan reaksi keluarga, pasangan, atau teman
  • Takut kehilangan pekerjaan (jika pelaku adalah rekan kerja atau atasan)

“Saya takut kalau saya lapor, saya yang akan dipecat.” — Korban pelecehan di tempat kerja, Sydney

2. Rasa Tidak Percaya pada Sistem Hukum

Banyak korban merasa melapor percuma karena kasus sering tidak ditindaklanjuti, atau prosesnya terlalu rumit dan melelahkan.

Beberapa hambatan hukum yang sering disebut:

  • Kurangnya bukti fisik
  • Proses hukum yang panjang dan traumatis
  • Minimnya pendampingan psikologis atau hukum gratis

Bahkan ada yang merasa dipermalukan lagi saat harus menceritakan ulang kejadian di depan banyak orang, termasuk polisi atau pengadilan.

3. Normalisasi Pelecehan dan Minimnya Edukasi

Masih banyak yang belum paham benar apa saja yang tergolong pelecehan seksual. Akibatnya, korban menganggap kejadian itu “biasa saja” atau “cuma bercanda”.

Contoh pelecehan yang sering tidak disadari korban:

  • Komentar fisik atau seksual yang tidak diinginkan
  • Sentuhan yang tidak sopan di tempat umum
  • Dipaksa menerima pesan atau gambar seksual via chat

Jika sejak kecil atau dalam budaya kerja kita hal-hal ini dianggap “lumrah”, maka korban tidak akan merasa punya kekuatan untuk melapor.

4. Trauma dan Reaksi Emosional yang Membeku

Setelah pelecehan, banyak korban masuk ke fase shock atau dissociation. Mereka merasa mati rasa, tidak tahu harus berbuat apa, atau bahkan tidak ingat detail kejadian.

Ini reaksi psikologis alami, tapi sayangnya membuat korban merasa tidak “cukup yakin” untuk melapor. Mereka jadi ragu: “Apa benar itu terjadi? Mungkin aku yang lebay?”

Kondisi ini sering diperparah jika lingkungan sekitar malah menyalahkan korban atau menyepelekan cerita mereka.

5. Minimnya Dukungan dari Lingkungan Sekitar

Support system sangat menentukan keberanian seseorang untuk melapor. Sayangnya, banyak korban justru mendapat respon seperti:

  • “Udahlah, lupain aja.”
  • “Jangan ribet, nanti malu.”
  • “Mungkin dia cuma bercanda.”

Respons seperti ini justru menutup pintu keberanian korban untuk bicara. Maka penting banget menciptakan budaya mendukung dan tidak menghakimi ketika seseorang mengungkapkan pelecehan yang mereka alami.

Penutup: Saatnya Kita Mendengar dan Bertindak

Jika lebih dari 80% korban tidak melapor pelecehan seksual, ini bukan hanya masalah individu—ini masalah sistemik. Kita harus membangun lingkungan yang aman untuk bicara, baik di rumah, kantor, sekolah, maupun sosial media.

Solusi dimulai dari hal kecil: percaya pada korban, dengarkan tanpa menghakimi, dan bantu mereka tahu hak dan jalur hukum yang tersedia.

Karena di balik setiap diam, ada trauma yang tidak terlihat. Dan mungkin, hanya dengan satu orang yang percaya, korban bisa kembali menemukan suaranya.